
Saturday, June 14, 2014
at
10:12 PM
|
Citacinta Whats Hot
Dedicated to all women in the world hehe. read it girls :) enjoy your life and trus Your God. He will never decide wrong condition for you. He will always set the best one for your life.
1. Menyenangkan orang lain
Selama jalan dengan pacar, ortu kita kelihatan merestui hubungan kita dan si dia. Begitu juga keluarganya yang sudah menganggap kita jadi bagian dari mereka. Nggak heran setiap acara keluarga, nyokap pacar selalu nanya kapan kita siap dilamar. Sementara nyokap kita pun sudah heboh pengen punya cucu—gubrak...!
Memang, sih, sebagai anak kita kudu membahagiakan ortu. Tapi bukan berarti wajib merelakan status single kita demi kebahagian orang lain. Memangnya kalau kita nggak bahagia setelah menikah mereka juga mau menanggungnya? Belum tentu, kan....
Nah, biar keluarga nggak terus-terusan 'memaksa', coba beri pengertian kepada mereka. Bilang aja kita dan si dia belum ada kesepakatan untuk menikah dalam waktu dekat—alasan materi biasanya juga manjur, tuh. Jangan lupa sebelumnya janjian dulu dengan pacar, ya!
2. Diburu umur
Biasanya cewek senang banget bikin target menikah pada umur 25 tahun. Selain dianggap cukup matang, kita pun merasa sudah punya tabungan yang memadai saat itu. Kenyataannya... planning tadi belum terlaksana padahal saat ini usia kita sudah mencapai 28 tahun. Yang bikin lebih miris lagi, nih, kita belum punya pacar serius sampai sekarang, hiks....
Sebenarnya menikah, tuh, nggak perlu dihubung-hubungkan dengan umur seseorang. Sayangnya di Indonesia cewek single berumur 28-29 tahun ke atas sering dicap telat menikah. Anggapan ini yang akhirnya bikin kita nggak nyaman ketika (memilih) melajang.
Jika kita memang sangat menikmati status single, ngapain repot memikirkan omongan oran? Nggak perlu juga memaksakan diri menikah dengan calon suami yang baru kita kenal dua minggu kalau akhirnya bercerai juga! Lagian kita sendiri, kok, yang paling tahu kapan waktu paling tepatnya....
3. Sandaran materi
Punya pacar yang royal dan nggak pernah hitung-hitungan pastilah menyenangkan. Pengen makan enak saat bokek, si dia siap mentraktir. Nggak punya pulsa, eh... pacar malah menghadiahi kita ponsel dengan nomor pasca-bayar tanpa harus pusing lagi membayar tagihannya. Saking nyamannya, kita berniat berhenti bekerja begitu si dia mengajak serius—kayaknya dia sanggup menghidup kita, deh.
Mungkin pacar nggak keberatan menanggung hidup kita karena keuangannya memang lebih mapan untuk saat ini. Tapi seandainya si dia di-PHK dan sulit mencari kerja lagi, gimana kita bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga yang makin mahal? Lagian selalu 'mengemis' kepada suami cuma untuk membeli sepatu bermerek atau mengganti ponsel biasa jadi iPhone setelah menikah sama sekali nggak keren, ah.
4. Takut sendirian
Setelah menonton The Curious Case of Benjamin Button, kita jadi pengen segera menikah. Kalau punya keluarga kecil yang harmonis, kan, setidaknya kita nggak perlu mati sendirian dan terlupakan. Tinggal minta anak atau cucu untuk merawat kita hingga akhir hidup.
Kalau memang takut sendirian, bagaimana dengan ortu yang mungkin masih membutuhkan kita di rumah untuk merawat mereka—persis seperti rencana kita semula. Sebaiknya, sih, jangan menikah hanya sebagai cara untuk menyelamatkan diri sendiri saja. Lagipula banyak, kok, orang tua di panti jompo yang justru ditinggalkan oleh keluarganya sendiri. Tragis, kan....
5. Lepas dari ortu
Belakangan kita selalu kena omelan ortu gara-gara sering pulang malam. Padahal kita memang sedang sibuk dengan urusan kampus atau kantor, bukan karena pacaran seperti yang dituduhkan mereka. Berhubung bosan mendengarnya, kitapun memutuskan menikah sesegera mungkin dengan pacar biar lebih bebas kemana-mana.
Eits, jangan panas dulu! Wajar banget kalau ortu cemas terhadap keselamatan kita sebagai anak perempuannya. Mungkin menurut mereka omelan bakal efektif untuk menakuti kita sehingga mau menuruti perintahnya. Meski kita malah makin sebal karena merasa dibatasi dan dianggap anak kecil terus.
Tapi menikah pun nggak akan memecahkan masalah. Mending kita jelaskan pada ortu bahwa kita sudah dewasa dan minta mereka untuk memercayai kita. Kalau bisa menunjukkan sikap bertanggung jawab, rasanya mereka nggak bakal bawel lagi, deh.
6. Mengincar warisan
Mungkin salah satu kriteria cowok idaman kita adalah mapan secara materi. Begitu dapat pacar yang tajir langsung, deh, kita buru-buru minta dinikahi—nggak usah pakai tunangan segala. Alasannya: biar kecipratan materinya juga, dong, he he he.
Sayangnya, kita lupa bahwa kekayaan pacar berasal dari ortunya yang kaya 7 turunan dan punya keluarga besar. Seandainya bisa mengambil hati pacar dan camer belum tentu harta warisan langsung jatuh ke tangan kita. Kalau ada apa-apa, nih, pasti garis keturunan asli yang bakal mendapatkan jatah terbesar.
Lagipula menikah demi materi biasanya nggak bakal langgeng, deh. Apalagi kalau harta tersebut berasal dari korupsi, pastinya nggak jadi berkah buat yang menikmatinya. Selain itu kecil banget, deh, kemungkinan si upik abu bersanding dengan keluarga berada, kan....
7. Bersaing dengan sahabat
Bulan lalu si A menikah, bulan depan si B menyusul, bahkan si C yang diprediksi paling akhir melepas masa lajang sudah menentukan tanggal pernikahan tahun depan. Sementara kita yang sudah 4 tahun pacaran dengan orang yang sama belum juga dilamar. Masa keduluan lagi, sih?
Jangan menikah karena latah melihat anggota geng cewek kita sudah 'laku'. Mungkin mereka lebih dulu melepas masa lajang gara-gara sudah siap materi dan mental. Coba dengar lagi keluh kesah sahabat, deh. Ada yang nggak punya waktu luang buat diri sendiri bahkan susah berduaan dengan suaminya setelah melahirkan. Sebaliknya kapan pun kita masih bisa nyalon atau hang out bareng pacar tanpa beban—nggak ada lagi alasan buat iri, dong....
8. Happily ever after
Sejak kecil kita sudah mengidolakan Cinderella yang sukses menemukan prince charming-nya. Begitu dewasa kita makin terobsesi menonton drama romantis yang selalu berakhir bahagia. Nggak heran, deh, kita percaya banget kalau menikah dengan cowok idaman bakal membuat hidup kita sempurna selamanya.
Cerita dalam dongeng dan film berbeda banget, deh, dengan jalan hidup kita. Kalau kisah Cinderella bisa selesai dengan kalimat 'and they lived happily ever after', perjalanan cinta kita belum selesai saat menikahi Mr.Perfect. Soalnya pernikahan, tuh, berlangsung seumur hidup—nggak hanya sampai mengucapkan janjinya aja! Sstt... kalau hanya mau senangnya saja berarti kita belum siap mental buat menikah.
9. Merasa terancam
Saking akrabnya dengan pacar, besar kemungkinan kita bakal berbagi semua rahasia gelap keluarga. Ketika bokap punya selingkuhan, misalnya, si dia justru menggunakan cerita itu untuk keuntungan pribadinya. Dia mengancam akan memberitahu nyokap yang sakit-sakitan kalau kita nggak mau menikah dengannya—padahal motivasi pacar demi mengeruk materi keluarga, duh!
Jangan pernah merasa bertanggung jawab atas perbuatan negatif yang dilakukan orang lain, sekalipun ortu kita pelakunya! Sebelum mengikuti kemauan pacar, coba bicarakan 'dari hati ke hati' dengan bokap karena hal ini menyangkut kredibilitas beliau. Setelah itu minta bantuan saudara untuk melepaskan diri dari ancaman si dia. Sejelek-jeleknya keluarga pasti mau ngebantuin kita, deh.
10. Telanjur DP
Berhubung takut kehilangan pacar, kita akhirnya rela memberikan keperawanan kita. Akhirnya si dia malah 'nagih' dan kita dengan terpaksa menuruti keinginannya asal memakai pengaman. Sayangnya, kali ini kondom yang si dia pakai bocor sehingga tahu-tahu kita sudah dinyatakan hamil 3 minggu!
Meski menyesal, kita kudu tetap mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengakuinya kepada ortu. Semarah-marahnya mereka pasti bokap dan nyokap akan memberikan solusi terbaik buat masa depan kita.
Seandainya si dia akhirnya siap bertanggung jawab, biasanya, sih, karena terpaksa—bukan karena benar-benar mencintai kita. Kalau memang cinta pasti pacar bakal berpikir ribuan kali sebelum menyakiti kita dan ortunya.
Dedicated to all women in the world hehe. read it girls :) enjoy your life and trus Your God. He will never decide wrong condition for you. He will always set the best one for your life.
1. Menyenangkan orang lain
Selama jalan dengan pacar, ortu kita kelihatan merestui hubungan kita dan si dia. Begitu juga keluarganya yang sudah menganggap kita jadi bagian dari mereka. Nggak heran setiap acara keluarga, nyokap pacar selalu nanya kapan kita siap dilamar. Sementara nyokap kita pun sudah heboh pengen punya cucu—gubrak...!
Memang, sih, sebagai anak kita kudu membahagiakan ortu. Tapi bukan berarti wajib merelakan status single kita demi kebahagian orang lain. Memangnya kalau kita nggak bahagia setelah menikah mereka juga mau menanggungnya? Belum tentu, kan....
Nah, biar keluarga nggak terus-terusan 'memaksa', coba beri pengertian kepada mereka. Bilang aja kita dan si dia belum ada kesepakatan untuk menikah dalam waktu dekat—alasan materi biasanya juga manjur, tuh. Jangan lupa sebelumnya janjian dulu dengan pacar, ya!
2. Diburu umur
Biasanya cewek senang banget bikin target menikah pada umur 25 tahun. Selain dianggap cukup matang, kita pun merasa sudah punya tabungan yang memadai saat itu. Kenyataannya... planning tadi belum terlaksana padahal saat ini usia kita sudah mencapai 28 tahun. Yang bikin lebih miris lagi, nih, kita belum punya pacar serius sampai sekarang, hiks....
Sebenarnya menikah, tuh, nggak perlu dihubung-hubungkan dengan umur seseorang. Sayangnya di Indonesia cewek single berumur 28-29 tahun ke atas sering dicap telat menikah. Anggapan ini yang akhirnya bikin kita nggak nyaman ketika (memilih) melajang.
Jika kita memang sangat menikmati status single, ngapain repot memikirkan omongan oran? Nggak perlu juga memaksakan diri menikah dengan calon suami yang baru kita kenal dua minggu kalau akhirnya bercerai juga! Lagian kita sendiri, kok, yang paling tahu kapan waktu paling tepatnya....
3. Sandaran materi
Punya pacar yang royal dan nggak pernah hitung-hitungan pastilah menyenangkan. Pengen makan enak saat bokek, si dia siap mentraktir. Nggak punya pulsa, eh... pacar malah menghadiahi kita ponsel dengan nomor pasca-bayar tanpa harus pusing lagi membayar tagihannya. Saking nyamannya, kita berniat berhenti bekerja begitu si dia mengajak serius—kayaknya dia sanggup menghidup kita, deh.
Mungkin pacar nggak keberatan menanggung hidup kita karena keuangannya memang lebih mapan untuk saat ini. Tapi seandainya si dia di-PHK dan sulit mencari kerja lagi, gimana kita bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga yang makin mahal? Lagian selalu 'mengemis' kepada suami cuma untuk membeli sepatu bermerek atau mengganti ponsel biasa jadi iPhone setelah menikah sama sekali nggak keren, ah.
4. Takut sendirian
Setelah menonton The Curious Case of Benjamin Button, kita jadi pengen segera menikah. Kalau punya keluarga kecil yang harmonis, kan, setidaknya kita nggak perlu mati sendirian dan terlupakan. Tinggal minta anak atau cucu untuk merawat kita hingga akhir hidup.
Kalau memang takut sendirian, bagaimana dengan ortu yang mungkin masih membutuhkan kita di rumah untuk merawat mereka—persis seperti rencana kita semula. Sebaiknya, sih, jangan menikah hanya sebagai cara untuk menyelamatkan diri sendiri saja. Lagipula banyak, kok, orang tua di panti jompo yang justru ditinggalkan oleh keluarganya sendiri. Tragis, kan....
5. Lepas dari ortu
Belakangan kita selalu kena omelan ortu gara-gara sering pulang malam. Padahal kita memang sedang sibuk dengan urusan kampus atau kantor, bukan karena pacaran seperti yang dituduhkan mereka. Berhubung bosan mendengarnya, kitapun memutuskan menikah sesegera mungkin dengan pacar biar lebih bebas kemana-mana.
Eits, jangan panas dulu! Wajar banget kalau ortu cemas terhadap keselamatan kita sebagai anak perempuannya. Mungkin menurut mereka omelan bakal efektif untuk menakuti kita sehingga mau menuruti perintahnya. Meski kita malah makin sebal karena merasa dibatasi dan dianggap anak kecil terus.
Tapi menikah pun nggak akan memecahkan masalah. Mending kita jelaskan pada ortu bahwa kita sudah dewasa dan minta mereka untuk memercayai kita. Kalau bisa menunjukkan sikap bertanggung jawab, rasanya mereka nggak bakal bawel lagi, deh.
6. Mengincar warisan
Mungkin salah satu kriteria cowok idaman kita adalah mapan secara materi. Begitu dapat pacar yang tajir langsung, deh, kita buru-buru minta dinikahi—nggak usah pakai tunangan segala. Alasannya: biar kecipratan materinya juga, dong, he he he.
Sayangnya, kita lupa bahwa kekayaan pacar berasal dari ortunya yang kaya 7 turunan dan punya keluarga besar. Seandainya bisa mengambil hati pacar dan camer belum tentu harta warisan langsung jatuh ke tangan kita. Kalau ada apa-apa, nih, pasti garis keturunan asli yang bakal mendapatkan jatah terbesar.
Lagipula menikah demi materi biasanya nggak bakal langgeng, deh. Apalagi kalau harta tersebut berasal dari korupsi, pastinya nggak jadi berkah buat yang menikmatinya. Selain itu kecil banget, deh, kemungkinan si upik abu bersanding dengan keluarga berada, kan....
7. Bersaing dengan sahabat
Bulan lalu si A menikah, bulan depan si B menyusul, bahkan si C yang diprediksi paling akhir melepas masa lajang sudah menentukan tanggal pernikahan tahun depan. Sementara kita yang sudah 4 tahun pacaran dengan orang yang sama belum juga dilamar. Masa keduluan lagi, sih?
Jangan menikah karena latah melihat anggota geng cewek kita sudah 'laku'. Mungkin mereka lebih dulu melepas masa lajang gara-gara sudah siap materi dan mental. Coba dengar lagi keluh kesah sahabat, deh. Ada yang nggak punya waktu luang buat diri sendiri bahkan susah berduaan dengan suaminya setelah melahirkan. Sebaliknya kapan pun kita masih bisa nyalon atau hang out bareng pacar tanpa beban—nggak ada lagi alasan buat iri, dong....
8. Happily ever after
Sejak kecil kita sudah mengidolakan Cinderella yang sukses menemukan prince charming-nya. Begitu dewasa kita makin terobsesi menonton drama romantis yang selalu berakhir bahagia. Nggak heran, deh, kita percaya banget kalau menikah dengan cowok idaman bakal membuat hidup kita sempurna selamanya.
Cerita dalam dongeng dan film berbeda banget, deh, dengan jalan hidup kita. Kalau kisah Cinderella bisa selesai dengan kalimat 'and they lived happily ever after', perjalanan cinta kita belum selesai saat menikahi Mr.Perfect. Soalnya pernikahan, tuh, berlangsung seumur hidup—nggak hanya sampai mengucapkan janjinya aja! Sstt... kalau hanya mau senangnya saja berarti kita belum siap mental buat menikah.
9. Merasa terancam
Saking akrabnya dengan pacar, besar kemungkinan kita bakal berbagi semua rahasia gelap keluarga. Ketika bokap punya selingkuhan, misalnya, si dia justru menggunakan cerita itu untuk keuntungan pribadinya. Dia mengancam akan memberitahu nyokap yang sakit-sakitan kalau kita nggak mau menikah dengannya—padahal motivasi pacar demi mengeruk materi keluarga, duh!
Jangan pernah merasa bertanggung jawab atas perbuatan negatif yang dilakukan orang lain, sekalipun ortu kita pelakunya! Sebelum mengikuti kemauan pacar, coba bicarakan 'dari hati ke hati' dengan bokap karena hal ini menyangkut kredibilitas beliau. Setelah itu minta bantuan saudara untuk melepaskan diri dari ancaman si dia. Sejelek-jeleknya keluarga pasti mau ngebantuin kita, deh.
10. Telanjur DP
Berhubung takut kehilangan pacar, kita akhirnya rela memberikan keperawanan kita. Akhirnya si dia malah 'nagih' dan kita dengan terpaksa menuruti keinginannya asal memakai pengaman. Sayangnya, kali ini kondom yang si dia pakai bocor sehingga tahu-tahu kita sudah dinyatakan hamil 3 minggu!
Meski menyesal, kita kudu tetap mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengakuinya kepada ortu. Semarah-marahnya mereka pasti bokap dan nyokap akan memberikan solusi terbaik buat masa depan kita.
Seandainya si dia akhirnya siap bertanggung jawab, biasanya, sih, karena terpaksa—bukan karena benar-benar mencintai kita. Kalau memang cinta pasti pacar bakal berpikir ribuan kali sebelum menyakiti kita dan ortunya.
Posted by
fronita
Labels:
nEws

